Karikatur pada koran Indonesia Raya tentang sosok Hatta yang digambarkan sebagai Spinx. Maksudnya yaitu Hatta diam seribu bahasa terhadap berbagai permasalahan di Indonesia pada masa awal kemerdekaan termasuk korupsi.
Karikatur yang saya tunjukkan pada gambar ini membuktikan bahwa korupsi di masa Orde Lama sudah marak terjadi dan tindakan pemerintah untuk mencegahnya kurang tegas.
Membahas kasus korupsi pada masa Orde Lama sangatlah panjang. Oleh karena itu, saya akan memberikan dua kasus korupsi di masa Demokrasi Liberal (1950–1959), satu korupsi di masa Demokrasi Terpimpin (1959–1965), dan satu kasus korupsi di masa Revolusi Nasional (1945–1949).
Ini adalah Iskaq Tjokrohadisurjo dan dia adalah seorang advokat Indonesia pertama yang membuka kantor hukum di Jakarta dimasa penjajahan Belanda. Beliau adalah anggota Partai Nasional Indonesia (PNI) dan pernah menjabat sebagai Menteri Perekonomian Kabinet Ali Sastroamidjojo I (1953–1955).
Selama menjabat sebagai menteri perekonomian, beliau terkenal mengeluarkan kebijakan ekonomi yang dinamakan Ali-Baba. Seperti yang kalian pelajari di buku pelajaran sekolah, kebijakan perekonomian ini bertujuan untuk memajukan pengusaha bumiputera. Salah satu caranya yaitu memberikan lisensi impor.
Sayangnya pemberian lisensi impor ini penuh dengan praktik kecurangan. Pasalnya pengusaha-pengusaha yang ingin mendapatkan lisensi harus memberikan uang sebesar 10% dari harga lisensi kepada PNI untuk mengisi uang kasnya. Selain itu, pengusaha harus membayar uang sogokan kepada beberapa petugas yang mengurusi lisensi agar mendapatkan lisensi. Dengan begitu mayoritas pengusaha bumiputera yang mendapatkan lisensi adalah penguasaha pendukung PNI dan uangnya digunakan untuk membiayai kampanye Pemilu 1955 PNI.
Kebijakan ekonomi Ali-Baba yang penuh dengan praktik korupsi ini membuat pihak opoisisi melayangkan protes. Akibat dari inilah, Ali Sastroamidjojo mereshuffle kabinetnya dan Iskaq meletakkan jabatannya sebagai Menteri Perekonomian pada tanggal 8 November 1954.
Beberapa tahun berselang, Iskaq Tjokrohadisurjo diadili oleh kejaksaan agung atas tuduhan kepemilikian devisa negara berupa uang, tiket pesawat terbang dan kereta, dan mobil tanpa izin dari negara. Setelah melewati seluruh rangakaian pengadilan, pada bulan April 1960 pengadilan ekonomi Jakarta menolak pembelaan Iskaq dan Iskaq dijatuhi hukuman sembilan bulan penjara dan denda Rp200.000. Di samping menjatuhi hukuman, mobil pribadi Iskaq yaitu Benz 300 juga disita oleh negara.
Iskaq tidak terima dengan keputusan hakim dan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta dengan harapan adanya pembebasan dan mobil Benz 300 dikembalikan ke Iskaq. Banding ditolak dan Iskaq memutuskan untuk meminta grasi dari Soekarno.
Berhubung Soekarno dan Iskaq sama-sama merupakan pendiri PNI, Soekarno mengabulkan permintaan Iskaq dan maka dari itu Iskaq dibebaskan dari penjara. Meskipun bebeas, Iskaq tidak dapat mendapatkan mobil Benz 300 yang sebelumnya dia miliki.
Selanjutnya adalah Djody Gondokusumo. Beliau adalah seorang politikus Partai Rakyat Nasional yang pernah menjabat sebagai Menteri Kehakiman Indonesia dimasa Kabinet Ali Sastroamidjojo I (1953–1955). Selama menjabat sebagai Menteri Kehakiman, ada dugaan yang dilayangkan oleh pihak oposisi kalau Djody menerima uang pelicin sebesar Rp40.000 dari seorang pengusaha Hong Kong yang bernama Bom Kim Tjhong untuk memperpanjang visa tinggal di Indonesia .
Proses peradilan Djody Gondokusumo
Merespon tudingan pihak oposisi, polisi militer menahan Djody di hari akhir menjabat sebagai Menteri Kehakiman. Selama proses persidangan, tudingan pihak oposisi semakin kuat setelah seorang saksi yang didatangkan membenarkan tindakan tidak terpuji Djody dan saksi mengungkapkan bahwa uang Rp40.000 digunakan untuk mengisi uang kas PRN. Akhirnya, Djody mendapatkan hukuman penjara selama dua tahun di Penjara Cipinang pada bulan Januari 1956.
Tidak terima dengan keputusan hakim, Djody mengajukan grasi kepada Soekarno dan Bung Karno mengabulkan permintaan Djody pada tanggal 20 Juli 1956. Barulah pada tanggal 26 September 1956, Djody dibebaskan. Keputusan ini mengecewakan Bung Hatta karena Soekarno tidak berkonsultasi dengan Hatta mengenai hal ini.
Ini adalah K.H Wahib Wahab, seorang tokoh Nahdlatul Ulama dan pernah menjabat sebagai Menteri Agama dari tahun 1959 sampai dengan tahun 1962. Pada tahun 1962, Wahib Wahab terbukti bersalah atas pelanggaran kepemilikan mata uang asing sebesar 40.900 dollar Malaysia dan mengadakan transaksi dagang illegal di Singapura.
Hakim menjatuhkan hukuman enam tahun penjara dan denda sebesar Rp5.000.000. K.H Wahib Wahab tidak terima dengan keputusan hakim dan mengajukan grasi ke Soekarno. Grasi tersebut diterima dan Wahib Wahab hanya menjalankan hukuman penjara kurang dari sebulan saja. Selanjutnya, dia dijadikan sebagai tahanan rumah.
Tadi saya sudah menyebutkan dua menteri yang terlibat dalam korupsi. Untuk bagian ini saya akan memberikan contoh-contoh korupsi oleh aparatur sipil negara dan TNI-AL. Nah untuk yang korupsi ditubuh TNI-AL sendiri terjadi ketika Indonesia sedang masa Revolusi Nasional (1945–1949).
Dari laporan internal Kementerian Pertahanan, Mardjoeni melakukan tindakan korupsi. sebesar Rp4.59 miliar. Dengan uang haram itu, Mardjoeni dapat membeli Auto (Mobil), gelang lintring & emas berlian, dua andong beserta empat kuda, Sepeda Raleigh & Sepeda S, ladang, dan dua rumah.
Selanjutnya ada beberapa menteri dan pejabat tinggi lainnya yang pernah ditangkap oleh polisi atas tuduhan korupsi seperti Jusuf Wibisono (Bekas Menteri Keuangan RI dan tokoh Masyumi), Roeslan Abdulgani (Bekas Menteri Luar Negeri RI), Zainul Arifin (Bekas Wakil Perdana Menteri dan Ketua DPR serta tokoh NU). Namun mereka semua tidak dikenakan hukuman karena buktinya tidak ada atau kurang.
Mengenai tindakan pencegahan korupsi, sebenarnya pemerintah Orde Lama sudah membentuk lembaga yang mirip KPK yaitu Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara (Bapekan) yang didirikan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran) oleh Jenderal Abdul Haris Nasution pada tahun 1960.
Sempat ada dualisme lembaga KPK Orla lama ini. Namun dualisme ini dapat dihentikan ketika dua tokoh KPK yang berbeda ini bertemu dan mereka sepakat untuk pembagian tugas. Bapekan berfungsi untuk mengawasi dan meneliti sedangkan Paran menjerat tidak langsung pelaku korupsi.
Bapekan sendiri mendapat antusias yang besar dari masyarakat. Ini dibuktikan dengan diterimanya aduan sebesar 912 pengaduan sampai dengan Juli 1960 dari seluruh Indonesia.
Namun sayangnya lembaga ini dibubarkan pada tahun 1962 oleh Soekarno karena lembaga ini menginvestigasi dugaan korupsi pembangunan Gelora Istora Senayan untuk Asian Games. Diduga investgasi korupsi ini akan mengancam sahabat dekat Soekarno.
Paran sendiri berhasil membongkar para pejabat tinggi pemerintah. Selanjutnya Paran melancarkan Operasi Budhi dan berhasil menyelamatkan uang negara sebesar Rp11 miliyar dari bulan Februari-April 1961 serta mengungkapkan pimpinan Divisi Siliwangi yang terlibat dalam kasus korupsi.
Kampanye anti korupsi Paran menimbulkan keresahan bagi PKI karena PKI menuding kalau Paran digunakan oleh Nasution sebagai alat politik untuk melawan Soekarno. Bung Karno Sendiri saja resah dengan keberadaan Paran karena Paran mengungkapkan korupsi dikalangan sahabat dekat Soekarno. Gara-gara itulah Paran dibubarkan pada tahun 1964 oleh Soekarno atas desakan dari PKI.
No comments:
Post a Comment