Tuesday, December 6, 2022

SUKU BEREKOR DI PEDALAMAN KALIMANTAN


Seorang penjelajah dan naturalis asal Norwegia pernah melakukan perjalanan ke Kalimantan pada tahun 1879-1880. Ia ditugasi untuk menjajaki bagian timur Kalimantan guna mengetahui lebih dekat mengenai orang Dayak. Sambil menyelam minum air, ia kemudian bukan hanya mendapatkan informasi mengenai suku Dayak, tetapi juga beberapa suku misterius yang konon menghuni pedalaman Kalimantan yaitu Suku Berekor dan juga Suku Pemakan Manusia.

Perjalanan Bock dimulai pada sekitar pertengahan 1879. Bock yang saat itu berusia 30 tahun memulai perjalanan dari Samarinda ke Tenggarong dengan menggunakan perahu. Perjalanan yang harus ditempuh dengan perahu itu sekitar 30 mil jauhnya. Dalam sebuah kesempatan, perjalanan Bock pernah pula didampingi oleh Sultan Kutai. Beberapa kali Bock mendapati Orang Utan di tengah lebatnya hutan Borneo itu.

(Carl Alfred Bock)

Selama dalam penjelajahannya ke Samarinda, Tenggarong, dan Banjarmasin, dan pedalaman Kalimantan, Bock menulis buku yang nantinya akan diterbitkan pada tahun 1881 berjudul "The Head Hunters of Borneo".

Dalam buku yang banyak digunakan oleh orang Eropa untuk mengetahui tentang Borneo dan juga suku-suku yang mendiaminya tersebut, Bock mencatat perjumpaannya dengan berbagai macam suku Dayak, mulai dari Dayang Tring, Dayak Modang, Orang Bukit dari Amontai, Dayang Long Wai, dan Dayak Long Wahou.

Dalam buku tersebut, menariknya Carl Bock juga menceritakan bagaimana pengalamannya bertemu dengan suku kanibal pemakan manusia dan pencarian suku berekor yang kerap disebut "Orang Boentoet" yang ada di pedalaman Kalimantan yang sempat membuat tegang Kesultanan Kutai dan Kesultanan Paser.

Kisah Carl Bock Didatangi Suku Pemakan Manusia

Ketika Bock melakukan perjalanan dari Kota Bangoen ke pemukiman Dayak Tring, yang merupakan keluarga suku Bahou yang dijadwalkan akan memakan waktu sampai 4 hari lamanya. Ia berharap dapat bertemu dengan suku itu di Moeara Pahou. Dalam perjalanan itu juga didampingi oleh Sultan Kutai, Aji Muhammad Sulaiman.

Tetapi berhari-hari telah lewat dan Bock sama sekali belum menemukan seorang pun dari suku tersebut. Jadi ia berencana akan langsung mengunjungi kampung mereka. Namun Sultan mengatakan bahwa sangat berbahaya menuju ke sana. Mereka akan melewati perkampungan suku kanibal yang sangat ditakuti. Sultan juga khawatir bila kedatangan mereka akan dianggap sebagai ancaman yang kemudian dapat menimbulkan peperangan antar suku.

Sultan kemudian mengirimkan seorang utusan yang berperahu untuk meminta suku Dayang Tring agar menampakkan diri. Seminggu berlalu dan tak ada kabar dari orang tersebut. Mereka khawatir orang itu telah terbunuh dan menjadi santapan suku kanibal. Sultan kemudian mengirimkan perahu besar yang dipimpin Kapitan Bugis.

Sekitar tiga hari kemudian perahu itu kembali. Di dalam perahu ada sekitar 40 orang Dayak Tring, termasuk di dalamnya 4 perempuan. Di antara rombongan tersebut ada seorang pendeta perempuan. Ia mengizinkan Bock untuk mengambil gambarnya.

Dalam buku "The Head Hunters of Borneo", Bock menceritakan detail sosok-sosok yang ia lihat hari itu. Bagaimana mereka memiliki lubang telinga yang panjang dan dilengkapi dengan bandul logam. Ia juga takjub dengan tato-tato yang menghiasi beberapa bagian tubuh.

Sang pendeta mengatakan bahwa bahwa telapak tangan adalah bagian yang terbaik untuk dimakan, sambil menunjukkan kedua telapak tangannya. Ia juga menambahkan bahwa bagian otak, dahi dan lutut adalah hidangan yang lezat bagi sukunya.

Rupanya pertemuannya dengan suku tersebut tak sampai di sana. Seorang kepala suku kanibal bernama Sibau Mobang mendatangi tempat di mana Bock menginap. Kedatangannya itu juga bersama dengan tiga pendampingnya, dua orang laki-laki dan seorang perempuan.

Bock menggambarkan sang kepala suku berusia sekitar 50 tahun dengan kulit cokelat kekuningan dan gigi yang habis. Sibau Mobang tampak sakit-sakitan, bahkan lengan kanan yang dihiasi gelang logam kondisinya sudah tak bisa digerakkan. Namun sosok sang kepala suku itu masih menunjukkan keperkasaan dan ketangkasan yang dapat membuat musuh ketakutan.

Melalui Sibau Mobang, Bock mengetahui bahwa suku itu tidak makan orang setiap hari. Untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari mereka biasa menyantap nasi, hewan, dan juga buah-buahan liar. Namun menurut pengakuannya, sudah lama mereka tak menyantap nasi karena gagal panen.

Sebelum berpisah, Bock memberikan uang kepada masing-masing orang yang dilukisnya, beras, untaian manik-manik, dan juga kain blacu sepanjang 22 meter yang bisa dibagi sesama mereka. Sementara itu kepala suku Sibau memberikan kenang-kenangan berupa 2 tengkorak laki-laki dan perempuan tanpa rahang bawah yang dibungkus dengan daun pisang.

Misteri Suku Berekor di Pedalaman Kalimantan

Kisah mengenai Suku Berekor atau yang dikenal dengan Orang Boentoet berawal dari abdi Sultan Kutai yang bernama Tjiropon. Rumor dan mitos mengenai suku berekor ini membuat Bock awalnya tak begitu tertarik. Ia bahkan sempat meragukan kebenarannya.

Menurut cerita Tjiropon ia pernah bertemu dengan orang-orang yang memiliki ekor. Ekor itu panjangnya sekitar 5-10 meter. Suku berekor ini diduga menghuni permukiman di tepi Sungai Teweh, di mana Kesultanan Paser (Pasir) berkuasa. Menurutnya, kepala suku mereka memiliki mata dan rambut putih. Tak hanya itu saja, menurut Tjiropon, rumah-rumah suku Orang Boentoet ini sengaja dilubangi di bagian lantainya untuk meletakkan ekor.

Awalnya tentu saja banyak yang tak percaya kisah Tjiropon, namun sang abdi sultan bersikeras dan bersumpah bahwa apa yang dikatakannya memang benar adanya.

Mendengar hal ini, Bock kemudian berpikir tentang teori Darwin di mana ada rantai yang putus antara kera dan manusia. Ia pikir mungkin ini adalah jawaban dari misteri itu. Saat itu teori Darwin memang sangat menarik perhatian dunia Barat.

Bock lalu setuju untuk melakukan pencarian atas suku misterius tersebut. Tak tanggung-tanggung, Bock bahkan menjanjikan uang sebesar 500 gulden kepada Tjiropon jika ia berhasil membawa orang berekor itu.

Sultan Aji Muhammad Sulaiman kemudian menulis sepucuk surat yang ditujukan kepada Sultan Pasir yang isinya memohon agar Sultan dapat mengirimkan sepasang manusia berekor seperti cerita Tjiropon. Sang abdi kemudian berangkat bersama dengan surat tersebut.

(Kesultanan Kutai)

Hari demi hari berlalu, tetapi Tjiropon tak juga menampakkan batang hidungnya. Sementara itu, Bock kembali melanjutkan perjalanannya menuju Banjarmasin. Ketika di tengah perjalanan, ia bertemu dengan Tjiropon. Dengan penjelasan berbelit-belit, ia mengaku tak berhasil mendapatkan ras manusia berekor seperti yang diceritakannya.

Bock akhirnya dibantu oleh Residen Banjarmasin. Mereka mengirimkan kembali surat kepada penguasa Kesultanan Pasir menanyakan sekali lagi mengenai keberadaan orang berekor yang ada di wilayahnya.

Hampir sebulan lamanya tak ada balasan dari Sultan Pasir hingga akhirnya sebuah surat jawaban sampai juga ke tangan Residen Banjarmasin. Dalam surat itu Sultan mengatakan bahwa tampaknya telah ada kesalahpahaman. Orang Boentoet di Pasir adalah sebutan untuk para pengawal pribadi Sultan. Sang Sultan yang marah kemudian mengancam akan melakukan perlawanan terhadap Sultan Kutai.

Meskipun demikian, Tjiropon tetap pada pendiriannya. Ia memang pernah melihat langsung manusia berekor di Pasir. Tak hanya melihat, ia juga mengaku sempat berbicara dengan mereka.

Semua catatan dan kisah perjalanan Carl Bock di Kalimantan kemudian dibukukan dengan judul 'The Head Hunters of Borneo" yang dipublikasikan dalam bahasa Belanda pada tahun 1881.

No comments:

Post a Comment

Inovasi Permainan Kasino Satuslots: Apa yang Akan Datang di Masa Depan?

  Industri perjudian kasino   satuslots   terus bergerak maju dengan cepat, didorong oleh perkembangan teknologi dan permintaan konsumen   s...