Jawaban singkatnya karena memang sengaja di rusak oleh orang mesir saat itu atau oleh kepercayaan lain di masa setelahnya dengan tujuan melemahkan kekuatan seorang dewa, anggota kerajaan, atau orang tertentu.
Sebelumnya perlu dipahami bahwa kebudayaan Mesir kuno percaya akan patung-patung yang mereka buat merupakan tempat bersemayam roh atau dewa-dewa tertentu. Kekuatan para dewa atau roh tersebut akan menjadi "aktif" dengan melakukan ritual-ritual tertentu. Bagi mereka patung atau arca merupakan sebuah bentuk tiga dimensi bagi para roh atau dewa di alam dunia. Jadi, ketika sebuah patung rusak atau patah maka akan mempengaruhi dewa atau roh di dalamnya, termasuk mengganggu kekuatan yang dimiliki oleh patung. Para orang mesir juga percaya bahwa ada dunia lain setelah kematian dan kedua dunia ini saling berhubungan.
Mari kita mulai dari sebuah patung koleksi museum Brooklyn dibawah ini
Wajah diatas merupakan wajah seorang ratu Mesir bernama Hatshepsut
Ia naik tahta menjadi seorang ratu ketika suaminya, raja Thutmose II, meninggal dunia. Hatshepsut bersama anak tirinya yang bernama Thutmose III kemudian memerintah kerajaan Mesir bersama. Setelah sang ratu meninggal, Thutmose III ingin menjadikan anakanya Amunhotep II menjadi raja. Sayangnya hal ini tidak bisa dilakukan karena Amunhotep II tidak memiliki hubungan darah dengan ratu Hatshepsut.Karena ambisinya sudah memuncak, Thutmose III menghalalkan segala cara agar anaknya bisa menjadi seoarang raja. Salah satunya ialah dengan memerintahkan penghapusan nama Hatshepsut dari monumennya dan menorehkannya kembali dengan nama-nama dari garis keturunan laki-lakinya melalui ayahnya. Hal ini dilakukan untuk melegitimasi keturunannya, Diriya ingin menegaskan bahwa mereka merupakan keturunan yang sah. Thutmose juga menyerang patung sang ratu dan mengubah nama di bangunannya dari Hatshepsut menjadi Thutmose. Salah satu bentuk pengrusakannya dapat kita lihat pada gambar di atas.
Lalu, mengapa yang dipilih dihancurkan ialah bagian bagian tersebut?
Masyarakat Mesir meyakini bahwa kepala ular akan melindungi mereka dari marabahaya atau musuh. Sehingga dengan hancurnya kepala sang ular maka arwah sang ratu tidak terlindungi. Selanjutnya bagian yang juga dirusak ialah jenggot dan hiasan kepala. Keduanya merupakan simbol bangsawan atau kerajaan. Sementara hidung bertujuan agar sang ratu tidak bisa bernafas (di dunia lain). Memisahkan kepala dengan badan tentu bertujuan agar kekuatan sang ratu semakin melemah.
Tradisi merusak semacam ini kemudian kita kenal dengan istilah iconoclasm. Para egyptologyst meyakini bahwa kebiasaan merusak arca ini sudah muncul sejak awal kerajaan mesir muncul. Sebenarnya bukan hanya arca saja yang dirusak tapi juga prasasti, mumi, dan bangunan. Hal ini ditunjukan dengan ditemukannya prasasti kutukan bagi seseorang yang merusak sebuah makam atau arca. Pengrusakan terhadap atribut-atribut dewa atau raja menjadi hal yang biasa dalam sejarah Mesir Kuno.
Contoh penyerangan macam ini dapat dilihat selama masa pemerintahan Amunhotep IV. Sebelum ia berkuasa, dewa utama Mesir ialah dewa Amun. Namun, ketika dirinya naik tahta Ia menyatkan bahwa Dewa Aten merupakan dewa utama untuk disembah. Amunhotep IV juga mengganti namanya menjadi Akhenaten. Selama periodenya, pemujaan terhadap dewa Amun dihentikan dan nama dewa Amun yang dihapus dari berbagai monumen.
Setelah meninggal, putranya Tutankhamun naik tahta. Pada periode ini Ia mengakhiri kultus Aten dan memulihkan penyembahan Amun. Monumen bernama Akhenaten dan dewa Aten kemudian diserang dan kuil Aten dihancurkan.
Pengrusakan kemudian tidak hanya dilakukan selama masa Mesir Kuno tapi juga berlanjut periode setelahnya. Banyak umat dengan kepercayaan lain menghancurkan figur mesir kuno. Tujuannya kurang lebih sama, yaitu melemahkan iman para penganut agama mesir kuno.
No comments:
Post a Comment